Postingan

'Enak ya punya kakak yang sama-sama di Jepang'

  Sepertinya baru kemarin kami sibuk merebutkan remot tv, adu argumen dan saling mengadu ke bapak ibu perihal kesalahan satu sama lain. Dewasa ini kami memutuskan untuk keluar dari zona aman dan nyaman yang disebut rumah. Saat ini kami sama-sama tinggal di negara impiannya para wibu. Ya walaupun jarak waktu kami datang kesini cukup jauh, 4 tahun. Tapi semua ucapan kakak mengenai negara ini bisa aku rasakan dalam waktu hampir setahun saja. Susah, capek, sibuknya, mental yg dihajar habis habisan. Pusing menejemen keuangan. Orang bilang 'enak ya punya kakak yang sama sama tinggal di Jepang'. Kata siapa? Kalimat itu tadi yang ngga bikin enak. Seolah olah semua tercukupi atas keberadaan kakak. Jajan keluar, belanja sandangan, piknik ke kota impian, dibayarin sekolah. Padahal tidak juga, ya agak sedikit tenang dibandingkan harus hidup sendiri disini sih. Saat merancanakan pertemuan, kakak ku harus keluar 45 menit dari apartemennya untuk mendatangi ku.     Dari datang sampai saat ini,

Pikir ibu.

 Dia tetap gadis kecilku. Yang sering menumpahkan segala rasanya lewat tangis. Kata-kata yang mungkin masih ia susun pun akan kalah dengan derai air mata hingga tak akan ada kalimat utuh yang bisa didengar lagi. Rasanya memang sudah cukup lama dan nyaris tak biasa kami menukar cerita. Sejak dulu, aku merasa hanya kawan mainnya saja. Mengantar jemputnya sekolah, menemaninya mengerjakan tugas taman kanak-kanak, sesekali iseng membacakannya cerita, perlahan ia tumbuh, aku pun sudah tak membersamainya lagi. Temu kami akhirnya hanya hal-hal di muka saja. Nyaris aku melewatkan apa yang terjadi saat ia remaja. Hingga saat ia beranjak dewasa, ternyata banyak sekali yang ia simpan sendiri. Gadisku mungkin bingung atau bahkan malu ingin memulai cerita dari sisi mana. Hidupnya aku yakini semakin kompleks. Bukti perubahan hidupnya sangat aku sadari. Aku suka membaca coretan tangannya secara diam diam. Dan hampir setahun terakhir ini ia tak membagikan sepercik kisah dimana pun, yang biasanya aku ta

Untuk Sang Tuan

 Aku akan selalu suka menghubungimu saat pagi tiba. Memastikan harimu dimulai dengan satu hal menyenangkan lewat pertanyaan sederhana soal mimpi semalam dan rencana seharian. Lalu berjanji untuk bertukar kabar seperlunya. Bercerita lagi usai petang dan jauh dari lalu lalang. Tentang orang-orang yang kau temui, benda-benda yang kau sapa, bangunan yang kau kagumi, kopi yang kau tumpahkan saking terburu-buru menandaskannya. Tentang sarapan yang nyaris selalu ditarik ke makan siang. Lalu buku yang sudah kau selesaikan, lalu apa yang sedang berbaris dalam daftar segera dituntaskan. Dan lainnya lagi. Seolah ritme berulang, tapi selalu bisa membuatku penasaran. Ceritakan lagi dan lagi. Dengan begitu setidaknya aku tahu, harimu tak ada yang membosankan. Dan kamu bisa bertahan. Tak tahu akan seberapa lama menekuni ini. Bisa jadi satu waktu kamu akhirnya bosan, aku bosan. Bisa jadi satu waktu perlahan kita mulai melonggarkan sejumlah perjanjian untuk terbuka dan bercerita. Ada alasan-alasan keci

Masih senin. Dan mendadak saya merasa hari sudah buruk saja

Seberapa jelas kamu menciptakan batas antara dirimu dan orang lain? Antara urusanmu dan orang lain? Ya, orang lain: keluarga, kawan, bahkan orang asing. Menciptakan batas itu perlu sedemikian nyata. Untuk menghargai diri sendiri dan juga yang lain. Dan rasanya penciptaan batas yang cukup jelas, akan memberi ruang saling menghargai. Ketika ada pihak menerabas batas itu, bahayanya bukan orang yang kamu kenal dekat~pun sebaliknya, apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan marah? Lalu, di mana sebetulnya tempat yang tepat mengalamatkan kemarahan? Kepada orang yang menyebabkan kamu marah? Kepada siapa saja yang sekiranya bisa mendengarkan segala ocehan kemarahan? Kemarahan seringnya dilempar tanpa arah. Katanya orang yang marah biasanya bisa lebih jujur. Menurut saya tidak. Seringnya mereka tidak sedang benar-benar mengucapkan kebenaran. Seringnya, kemarahan itu hanya untuk meluapkan emosi yang sulit dikendalikan. Betapa ketika marah, seseorang akan nyaris tak akan peduli dengan apa dan siapa

Katarsis

Dalam sebuah grup percakapan kecil, obrolan-obrolan ringan perlahan memperberat bobotnya seiring waktu. Hanya sebuah cerita masa lalu, tiba-tiba, satu persatu kisah menderas, layak musim penghujung tahun. Manusia dewasa nampak harus benar-benar sudah rampung dengan dirinya. Apalagi sebelum ia membuka diri untuk berbagi hidup dengan manusia lainnya. Seseorang yang nampak tumbuh tanpa masalah, belum tentu mengalami proses peralihan usia yang mulus tahun demi tahun. Beberapa cerita yang hadir membuktikannya. Ada seorang pria yang tiba-tiba saja menangis sesenggukan kala melihat anak kecil didekap hangat ibunya. Jiwa kecilnya meronta, mengingat betapa jauhnya jarak antara ia dengan dekap wanita yang meminjamkan rahim sebagai rumah pertamanya. Memori yang nyaris tak pernah membayanginya selama remaja. Seorang wanita tiba-tiba saja mudah senewen begitu melihat rekan kerjanya mengeluh beban kerja yang tak seberapa. Padahal selama ini ia kerap menjadi pemberi semangat bagi para calon karyawan

Konstruksi Mimpi

  Setiap kali bermimpi otak ku kerap bertanya kenapa, misal ada orang itu yang hadir, padahal ingat aja engga pernah, kepikiran aja engga sama sekali. Yang aku baca teorinya, kalau kata Freud mimpi itu singkatnya represi dari alam sadar-alam bawah sadar. Entah isi ketakutan, keinginan, banyak hal yang bahkan terkait emosi-emosi yang tak disadari. Aku pernah bermimpi pada suatu pagi. Ini terlalu dini kan sebenarnya? Di saat semua orang kebanyakan memulai aktivitasnya, aku malah menutup pintu dan meringkuk di bawah selimut. Menutup gorden, mematikan lampu, tapi masih ku sisakan sedikit celah agar dapat disisipi sinar matahari dari luar. Tidur, tak butuh waktu lama langsung terlelap. Saat itulah perlahan mimpi menyusup. Dimulai dengan banyak suara bingar memekakkan telinga tapi suasana sepi. Aku bingung mencari sumber suara, tapi dalam kondisi samar, jelas sekali aku tak melihat ada siapa pun di situ. Tapi suara yang sangat berisik itu seolah dekat dan semakin ramai. Tak lama muncul suara

Jeda

 Gantari Kembali ke rumah masa kecilnya. mengenang setiap sudutnya. Lebih tepatnya sudut kamar. Ya, Gantari beberapa hari ini hanya berdiam diri di tempat yang waktu kecil ia sebut persembunyian. Keluar hanya untuk makan, mengisi botol minum, melamun di kamar mandi, berbincang dengan keluarga pun jarang. Ia lebih suka melakukan aktivitas di luar rumah jika ia tidak lelah. Lebih bebas. Seperti hari ini, Gantari membantu festival literasi yang diselenggarakan oleh komunitas yang ia ikuti setelah pelariannya ke Semarang. Seperti membayar hutang, hari ini harus terbayar. Yap, dengan tenaganya. Sebuah pertanggungjawaban sebagai anggota. Hal yang tak pernah ia duga akhirnya muncul juga. Ia ingat ibunya pernah mengatakan hidup itu adalah permainan waktu. 'Permainan waktu apa lagi ini?' batinnya. Badan Gantari mendadak beku, jantungnya seperti dipukul beratnya palu, sesak nafas. Padahal yang ia lihat tadi bisa jadi hanya bayangan saja. Sedetik kemudian ada yang mengguncang tubuhnya,  “