Konstruksi Mimpi

  Setiap kali bermimpi otak ku kerap bertanya kenapa, misal ada orang itu yang hadir, padahal ingat aja engga pernah, kepikiran aja engga sama sekali. Yang aku baca teorinya, kalau kata Freud mimpi itu singkatnya represi dari alam sadar-alam bawah sadar. Entah isi ketakutan, keinginan, banyak hal yang bahkan terkait emosi-emosi yang tak disadari.

Aku pernah bermimpi pada suatu pagi. Ini terlalu dini kan sebenarnya? Di saat semua orang kebanyakan memulai aktivitasnya, aku malah menutup pintu dan meringkuk di bawah selimut. Menutup gorden, mematikan lampu, tapi masih ku sisakan sedikit celah agar dapat disisipi sinar matahari dari luar. Tidur, tak butuh waktu lama langsung terlelap. Saat itulah perlahan mimpi menyusup.

Dimulai dengan banyak suara bingar memekakkan telinga tapi suasana sepi. Aku bingung mencari sumber suara, tapi dalam kondisi samar, jelas sekali aku tak melihat ada siapa pun di situ. Tapi suara yang sangat berisik itu seolah dekat dan semakin ramai. Tak lama muncul suara pecahan kaca, gemerisik daun, pecahan ombak, gesekan bambu yang bikin ngilu, semua berpadu dan membuatku bergidik.

Perlahan masuk suara-suara manusia, mulanya satu serupa monolog dengan penuh gumaman, tak paham apa. Lalu ditambah ada suara yang mengobrol semacam dua tiga orang. Ada suara yang serak, ada yang nyaring, dan suara berat khas suara simbah kakung. Ya akhirnya ada suara yang ku kenal, lengkap dengan deheman di beberapa jeda. Tak lama suara manusia makin banyak, suara simbah itu perlahan tak bisa ku kenal saat makin banyak suara yang lebih keras, lebih nyaring, lebih yang memekak muncul. Suara macam di ruang diskusi dan semua ingin didengar, semua ingin mengeluarkan pendapat tanpa belajar memberi kesempatan pada yang lain untuk berujar lantas dia giliran diam. Tak ada, semuanya berebut ingin bicara, dan kupingku yang hanya dua sudah tak sanggup mendengarnya. Sialnya aku jadi teringat Arteria Dahlan, kader PDIP pada diskusinya di meja Mata Najwa 2019 lalu. Memalukan. Ini aku ingat setelah bangun dari mimpi. 

Waktu itu semua pandang masih gelap. Aku serupa ada di sebuah lorong tanpa setitik cahaya meski itu di ujung, setidaknya biar aku tahu ada titik yang bisa jadi pedoman langkah keluar. Tidak sama sekali. Ini serupa memejam mata saja, saat ku buka tak ada beda, hanya saja saat terpejam semua suara makin nyata berisiknya makin jelas hingga ke desah dan dengungannya, bahkan aku sempat mendengar bunyi nyamuk yang berputar dan sepertinya sempat masuk ke dalam salah satu mulut orang-orang yang tak henti bicara. Bagus, karena nyamuk masuk mendadak ia terdengar diam. Mungkin kaget ada sesuatu yang masuk tiba-tiba.

Lalu, belakangan ini aku jadi sering bermimpi lagi. Dan seringnya bermimpi tentang orang asing, orang yang dikenal tapi tak dekat, orang yang diketahui tapi belum pernah berkenalan sama sekali. Kata bantunya: strangers. Tapi dalam mimpi-mimpi itu kami bisa berinteraksi. Mengobrol lebih lama dan panjang ketimbang di kehidupan nyata–. Ketika bangun aku hanya bisa mengingat kembali lalu memikirkan ulang semuanya, betapa menyenangkannya. Tapi mengapa seolah hanya jadi ilusi?

Aku bahkan melihat betapa bisa sebahagia itu dalam mimpi sendiri bahkan dengan orang asing. Sungguh rasanya bukan diriku di kehidupan nyata yang kerap merasa aneh berada di tengah suasana asing. Orang asing? Apalagi, kecuali memang memiliki karakter yang asyik untuk jadi kawan bicara selewatan. Kabar baiknya, aku tertolong bangun pagi dalam kondisi nyaman. Bahagia saja rasanya. Lebih enteng meski beberapa waktu kemudian kala harus segera cek ponsel, grup whatsapp, line, email, kepala otomatis jadi penuh. Setidaknya dapat energi baru yang hadir lewat mimpi yang seru. Bukan lagi mimpi buruk.

Dan jadi merindukan hal tak pasti. Siapa orang asing itu? Bisakah benar-benar bertemu dan menjadi kawan senyatanya? Atau setidaknya untuk yang sudah dikenal tapi kami sama-sama belum saling mengetahui. Ah, tapi aku ragu kesenangan dalam mimpi akan mudah terwujud sama bentuknya di kehidupan nyata. Baiklah, perlunya kita beri batas antara mimpi dan yang lebih nyata. Jika dalam mimpi bisa sebahagia itu dengan yang belum tentu ada, mengapa saat ini tidak bisa mewujudkannya bersama yang benar-benar ada? Kita perlu bahagia tapi tak usah berlebih. Namun aku tak keberatan senantiasa bermimpi seperti semalam, malam-malam sebelumnya di malam-malam berikutnya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

'Enak ya punya kakak yang sama-sama di Jepang'

Untuk Sang Tuan

Abu-abu