HILANGNYA IKIGAI

 Tengah malam terlewatkan, setelah subuh mulai mengantuk, tetap dituntut produktif. Pagi di mana aku baru bisa memejamkan mata, alarm yang aku pasang beruntun kembali mengganggu telinga ku. Kerja paruh waktu, sekolah, kerja lagi. Pulang setengah jam sebelum jam 12 malam. Rutinitas yang selalu membuatku jenuh, aku sering tiba tiba menangis. Ingin menyudahi semua bahkan terlalu dini aku memikirkannya. Aku baru saja memulai ini semua. Kata teman aku salah jalan, yah walaupun teman ku juga jadi korban. Kehidupan yang aku bayangkan akan menyenangkan ternyata benar benar hampa. Jauh dari siapa pun, bahkan Tuhan? Entahlah apa guna aku memutar murotal menjelang tidurku, tetap saja. Aku kehilangan tujuan kenapa aku harus bangun pagi, padahal jelas aku harus kerja. Tapi aku enggan, jika bisa lebih baik aku berdiam diri di kamar yang lumayan engap ini. 


Malam ku tidak bisa aku jelaskan, bagaimana ya. Dari mana aku mulai. Sebelum ini hidupku teratur, kegiatan yang sebenernya berat aku jalani dengan senang hati. Kenapa setelah aku benar benar keluar dari zona itu aku hampir kehilangan arah? Padahal ini sebuah pilihan, sebelumnya. Masalah muncul silih berganti, bahkan bersamaan. Kerap kali ingin membenturkan kepala ke tembok apartemen, aku ingat tembok di bangunan ini tidak sekeras bangunan di negeri asalku. Aku urungkan. Aku jambak rambutku agar sakitnya mereda. Sama saja, pertanyaan yang entahlah jawaban yang memuaskan seperti apa akhirnya tidak terjawab. Ku tumpuk - menumpuk. Orang benar, keluar dari zona nyaman jelas akan berproses menemui hal yang kurang mengenakan awalnya. Tapi bagaimana bisa selama hampir 2 tahun aku stuck di tempat yang sama. Budaya, bahasa bahkan pola hidup yang jauh berbeda. Katanya "aku tidak sendiri". Tetap saja aku merasa akulah parasit yang terus menempel di pohon yang tumbuh dengan sempurna. Masalahku mungkin tidak seberat orang lain, tapi percayalah aku kelelahan. Kau tahu, setiap kali aku memandang ke bawah dan melihat rel kereta yang sedang aku tunggui, aku berpikir itu cara menyelesaikan ini semua. Aku urungkan lagi saat ku lihat nenek  bungkuk yang mengantre di sampingku. Sangat sepuh, sendirian membawa tas bento yang ia bawa di lengan sebelah kiri nya. Ia masih bekerja. Susah payah aku jaga kewarasan. Mencoba menghibur diri, namun lagi lagi aku mempertanyakan kenapa aku begitu jauh dengan siapa pun?


Apa mau ku? Beberapa kali aku mencoba merinci masalah dari yang kecil, sedang hingga besar. Darimana harusnya aku selesaikan terlebih dahulu. Di pertengahan jalan, pikiran ku buyar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Sang Tuan

PIKIR IBU

Abu-abu