Pikir ibu.

 Dia tetap gadis kecilku. Yang sering menumpahkan segala rasanya lewat tangis. Kata-kata yang mungkin masih ia susun pun akan kalah dengan derai air mata hingga tak akan ada kalimat utuh yang bisa didengar lagi. Rasanya memang sudah cukup lama dan nyaris tak biasa kami menukar cerita. Sejak dulu, aku merasa hanya kawan mainnya saja. Mengantar jemputnya sekolah, menemaninya mengerjakan tugas taman kanak-kanak, sesekali iseng membacakannya cerita, perlahan ia tumbuh, aku pun sudah tak membersamainya lagi. Temu kami akhirnya hanya hal-hal di muka saja. Nyaris aku melewatkan apa yang terjadi saat ia remaja. Hingga saat ia beranjak dewasa, ternyata banyak sekali yang ia simpan sendiri. Gadisku mungkin bingung atau bahkan malu ingin memulai cerita dari sisi mana. Hidupnya aku yakini semakin kompleks. Bukti perubahan hidupnya sangat aku sadari. Aku suka membaca coretan tangannya secara diam diam. Dan hampir setahun terakhir ini ia tak membagikan sepercik kisah dimana pun, yang biasanya aku tahu. 

Sesekali menjangkaunya pun hanya sedikit yang bisa ku gapai. Namun kini beberapa cerita mulai ia lontar. Meski itu tadi, ia masih seperti gadis kecilku saja. Yang menangis lebih dulu saat ada kawannya yang galak, yang menangis usai terjatuh, terantuk, atau apapun. Dulu, sempat saja aku hampir bilang padanya, ‘ jangan cengeng!’ Tapi aku tahu itu akan jadi petaka seperti yang kurasakan kini, karena orang dewasa yang kerap nyinyir saat aku menangis. Kubiarkan ia bercerita, tersedu. Kubiarkan kata-katanya beradu dengan napas yang tiba-tiba memburu. Kuserap emosi itu, kubiarkan air mata itu. Legakanlah hatimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

'Enak ya punya kakak yang sama-sama di Jepang'

Untuk Sang Tuan

Abu-abu