Jeda

 Gantari Kembali ke rumah masa kecilnya. mengenang setiap sudutnya. Lebih tepatnya sudut kamar. Ya, Gantari beberapa hari ini hanya berdiam diri di tempat yang waktu kecil ia sebut persembunyian. Keluar hanya untuk makan, mengisi botol minum, melamun di kamar mandi, berbincang dengan keluarga pun jarang. Ia lebih suka melakukan aktivitas di luar rumah jika ia tidak lelah. Lebih bebas. Seperti hari ini, Gantari membantu festival literasi yang diselenggarakan oleh komunitas yang ia ikuti setelah pelariannya ke Semarang. Seperti membayar hutang, hari ini harus terbayar. Yap, dengan tenaganya. Sebuah pertanggungjawaban sebagai anggota.

Hal yang tak pernah ia duga akhirnya muncul juga. Ia ingat ibunya pernah mengatakan hidup itu adalah permainan waktu. 'Permainan waktu apa lagi ini?' batinnya. Badan Gantari mendadak beku, jantungnya seperti dipukul beratnya palu, sesak nafas. Padahal yang ia lihat tadi bisa jadi hanya bayangan saja. Sedetik kemudian ada yang mengguncang tubuhnya,

 “Tar, aku ke toilet dulu ya”. sela Lulu.

 Gantari anggukan kepala tanda jawaban. Hari ini perempuan itu mendadak diminta untuk berjaga di meja registrasi. Padahal mulanya ia hanya berniat membantu untuk menjaga stan buku.

“Bantu di registrasi dulu, Tar. Setelah peserta datang, area buku bisa kamu jaga,” ucap Mas Dipta sebagai penggagas acara yang tak bisa ia bantah.

Membuat acara komunitas kecil-kecilan seperti ini memang sulit. Semua yang dilakukan serba dadakan bahkan jumpalitan. Tenaga terbatas. Sebagai juniornya ya Gantari manut saja. Dua tugasnya di hari-H juga tak repot-repot amat. Ia selalu jadi tim hore dalam acara-acara yang dibuat perkumpulan mereka ini.

Gantari benar benar lupa, Mas Dipta memang teman dekat Cakra, tidak menutup kemungkinan Cakra datang hari ini. Acara ini pun dibuka untuk umum. Sekitar empat meter dari tempat duduknya, sosok itu berdiri. Mengantre dengan tenang, memasukkan kedua tangan ke saku trucker jaket yang ia kenakan. Apa Cakra tidak melihat Gantari disitu? Tumben headphone tak menggantung di lehernya? Tapi tetap saja, sepasang earphone bertengger di kedua daun telinga. Persetan acara ini atas nama komunitas. Sungguh Gantari pikir ingin pergi saja. Pertemuan seperti yang lalu terulang kembali, seperti hari ini. Sama persis batin Gantari. Pikirannya di pontang-panting kan saat itu juga, satu roll kenangan yang ia simpan akhirnya rusak juga.

Cakra menatap gantari lekat. Lalu dibalasnya, tapi Gantari sadar, ia selalu kalah untuk bisa menatap lebih lama. Tatapan Cakra tak hanya menelusuri wajah, mata, dan gerak geriknya. Tapi nekat masuk ke dalamnya dan menyelam. Dulu Gantari merasa, berbicara dengan Cakra seperti membagi dunia, ia hadir tak hanya mampir. Sampai ia tak ingat lagi apa saja yang telah dibaginya. Terlalu banyak.

Mungkin itu kuncinya, dari setiap temu tak ada yang lantas jadi percuma. Hadirnya tak sekadar menjaga rutinitas. Terkadang Gantari merasa kurang dan keadaan selanjutnya Cakra giat mengisi kebutuhan. Itu dulu. Meski saat bersama pun mereka membalutnya dalam banyak diam. Belakangan kerapnya demikian.

Perkenalan mereka tanpa duga. Sebuah acara diskusi kecil soal musik dan literasi yang berhasil menghimpun beberapa generasi milenial yang masih suka memutar kaset serta hobi bahas bahasan majas. Saat itu Cakra datang hanya melakukan pengamatan untuk tugas kuliahnya. Tak hanya mengamati topik obrolan saat diskusi dimulai, Cakra tertarik dengan salah satu objek di depannya yang sedari tadi seperti menahan amarah saat pendapatnya disanggah atau dimatikan seseorang.

Cakra mengenal Gantari dengan segala kompleksitasnya yang khas. Perempuan dengan sorot mata tajam, enggan menyapa orang, nafasnya kerap memburu setiap mendapati hal yang tak mengenakan hati. Bicaranya lugas, apa adanya.

Satu ketiba-tibaan tanpa duga juga, mendadak Gantari disuruh menjaga tempat registrasi. Ingin pura pura tidak mengenal juga sudah terlanjur terlihat dan melihat.

"Kita akan lebih mudah menyakiti yang terdekat kan? Dibanding menyakiti yang berjarak?” Kata Cakra menyentak begitu saja saat Gantari menegakkan tubuhnya setelah memungut kertas yang tadi jatuh ke lantai.

Gantari lantas menerawang. Diam cukup lama. Ia tahu cerita mereka belum benar benar tuntas.

“aku butuh sudut pandang mu yang belum rampung kamu ceritakan, Tar” lanjut Cakra

Gantari lagi-lagi tergugu. Cakra selalu ada benarnya apapun konteksnya.

Orang orang terdekat Gantari tahu bahwa perempuan itu cukup ambisius. Mereka juga tahu saking ambisiusnya beberapa kali ia jatuh. Baru beberapa tahun terakhir Gantari mulai menata bahkan merombak banyak konsep yang sebelumnya dianggap sudah tak bisa diganggu gugat.

“Harusnya kamu lebih tahu apa maksud tujuanku dulu, tidak ada pengulangan. Silahkan tulis nama, asal instansi. Lihat di belakang mu masih banyak yang mengantre”. Ucap Gantari sambil mengulurkan bolpoin ke arah Cakra

“Kita perlu bicara setelah ini, Tar. Aku tunggu sampai tugasmu di sini selesai” 

Sekat perlahan disibak. Cakra menyingkir dari tempatnya berdiri. Gantari rasanya enggan mendengar yang terakhir tadi.

Pasca pertemuan tadi, mereka nyaris tak bertemu lagi. Cakra yang sepertinya sibuk berbincang dengan Mas Dipta dan kawan kawan lainnya. Gantari sengaja pergi lewat pintu belakang, ia pamit lebih awal. Tapi setelah itu rasanya tak seperti sebelumnya. Tak ada lagi perasaan ingin bertemu sesegera dulu. Bukan karena kehilangan minat. Jujur Gantari makin tertarik dengan sosok satu itu. Tapi Gantari ingat tulisan ibunya pada surat yang tak terkirim dan ditemukan beberapa waktu lalu

Tak memburu, namun juga tak berpangku. Segala yang terjadi lebih organik tentu akan lebih menyenangkan. Kau mengharap sesuatu, tetap mengupayakannya tapi bukan berarti memaksakan semua agar bisa berjalan sesuai kehendakmu saja.

Gantari hanya ingin istirahat, cukup dengan dirinya sendiri saja saat ini.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

'Enak ya punya kakak yang sama-sama di Jepang'

Untuk Sang Tuan

Abu-abu