Menikah Atau Tidak, Memangnya Kenapa?

Menikah.

Tidak sesederhana dan sependek susunan hurufnya bukan? Bagaimana kita memaknai pernikahan itu yang lebih penting. Usia semakin rontok, walaupun saat aku menulis ini usia ku baru menginjak 21 tahun. Di luar dugaan pertanyaan klise yang terus berulang pun masih ku dengar ketika memposting foto kawan yang ambil langkah untuk menikah atau sekedar bertunangan, 'kamu kapan nyusul?'. Seharusnya pertanyaan itu biasa dan sudah terbiasa memang, tapi lama kelamaan sampai aku kebosanan. Makna dari pertanyaan itu semakin bergeser. Cukup mengagumkan kawan seusiaku atau bahkan lebih muda dariku berani mengambil keputusan untuk menikah, di usia muda. Tak apa, itu pilihan.

Bukannya tidak mau menikah, hanya saja..

Untuk saat ini aku masih terjebak dalam rencana kosong, bukannya tidak ada kemauan tapi pencarian jati diri ini harus tetap berjalan. Sibuk terasing dan mengasing. Aku nyaman mencipta jarak. memburu yang harus diburu, dan belum bisa mengkompromikan banyak hal. Dengan diri sendiri saja sulit, apalagi dua kepala atau lebih yang nantinya akan hidup berdampingan dalam waktu yang tak terhingga.

Apakah ada trauma tentang pernikahan?

Mungkin, atau tidak. Entahlah, aku hanya mengingat beberapa kenyataan selama ini. Kakek ku, ayah dari bapakku menikahi 3 perempuan. Adil memang, tapi kisah kelanjutan setelah kakek meninggal banyak cerita yang akhirnya jadi konflik internal di keluarga. Semacam boomerang? Sebut saja itu. Sedari kecil aku diperlihatkan banyak sekali ketimpangan di lingkungan keluarga, dalam hal ini bermula dari pernikahan. Kedudukan perempuan yang harus patuh kepada laki laki, apapun konteksnya walaupun keputusan akhir seharusnya bisa dibicarakan dan didiskusikan. Peran laki laki yang masih begitu dominan. Aku yakin tidak semua laki laki seperti itu, ini pengalaman ku. Itu semua contoh generalnya saja, kalau ditelusuri masih banyak hal lain yang merubah sistem pernikahan, menurutku. Bukan hanya tentang perselingkuhan, perbudakan, poligami, kekerasan dalam rumah tangga, atau yang lainnya. Ini masalah komunikasi yang tidak terjaga dengan baik, bisa jadi. Banyak yang aku kenang, sayang banyaknya pahit saja. Perbedaan tipis antara trauma dan pengalaman.

Bukan kenapa-napa,

Kalau dilihat dari segi kapasitas, masih sangat jauh untuk membahas judul ini. Bicara tentang jarak dan waktu, mungkin nanti 6 atau 8 tahun ke depan atau bahkan saat aku pindah ke pulau lain mindset yang aku pegang saat ini bisa berubah. Ada satu hal yang aku ingat, tujuan ku sedari dulu aku ingin sekali menjadi wanita karir. Yap, wanita yang tidak hanya terkurung di dalam gubuk saja. Keinginan ku, cenderung ambisi itu sebenernya masih tertanam di otak ini. Di abad yang super edan ini sebenernya menjadi wanita karir adalah pilihan yang biasa, pelakunya pun sekarang banyak sekali. Tapi kembali ke norma yang berlaku di masyarakat desa, hal itu tidak diwajarkan. Norma yang dilahirkan oleh sistem, bahkan sejak dulu. Katanya, tugas perempuan adalah menjadi seorang ibu, mengurus suami dan pergilah ke dapur. Setuju, tapi tidak semua perempuan harus begitu. Apa yang lebih mulia menjadi seorang ibu dan istri? Utuh sudah definisi dari perempuan sesungguhnya. Bukan hanya rencana masa depan untuk memperjelas semua, mungkin keinginan untuk mengubah status di kartu identitas kependudukan, juga menyempurnakan struktur keluarga yang jelas dari ayah sebagai kepala, istri atau ibu hingga ke anak anak. Tidak semudah itu ku bilang.

Hanya saja,

Berbicara melengkapi untuk memperjelas, dan untuk menyederhanakan pemaparan yang kadang berputar. Gagasan tidak selamanya harus di menangkan dalam satu waktu. Bukan menang, tapi diterima.
Hanya saja, aku tak menganggap enteng sebuah sistem yang namanya pernikahan. Bukan sebagai ajang untuk uji coba juga. Menikah, cocok ya lanjut. Tidak cocok, cerai. Bukan itu. Akhirnya aku sampai pada sebuah simpul. Aku akan terus menyusun tatanan hidup yang aku impikan, entah menikah atau tidak. Tunggu dulu, aku belum berpikir ke situ. Kuliah lalu menikah atau tetap mengurus karir, timeline hidup tidak ada template-nya. Siapa yang setuju? Ada yang bisa kita pilih dan lakukan sendiri. Ada pula yang harus kita terima tanpa kita pinta. Itu semua adalah sebuah set.








Komentar

  1. Setuju... btw di umur 21 udah memikirkan masa depan sekalipun masih menyibak keruhnya tentang pernikahan... 8 tahun lagi juga baik² saja... setiap orang punya karakteristiknya masing² dalam menentukan sesuatu.. tapi boleh jadi hati lebih dulu memilih ketika akal masih mencerna... semoga hati menuntun ke pertemuan yang dipanjatkan dalam do'a yang saling bertautan...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Sang Tuan

PIKIR IBU

Masih senin. Dan mendadak saya merasa hari sudah buruk saja