Abu-abu

  “Masih sama.”

Dua kata yang spontan ia ucapkan begitu ia turun dari angkutan. Sibuk, pikirnya. Ramai, lalu lalang manusia. Padat, ketika ia melintas lagi Jalan Mangkubumi atau bahkan pempek depan Pasar Demangan yang gerobaknya tidak berubah sedikit pun hingga sekarang. Setelah 3 tahun berlalu, mungkin yang berubah hanya dirinya. Gantari yang sekarang jauh lebih kosong ketimbang Gantari 3 tahun yang lalu. Bayang kisah yang pernah ia banggakan dulu nyatanya masih tersisa, ada walaupun hanya jejak samar saja.

Ia kembali lagi, Gantari pikir Semarang bisa membuatnya sembuh dari betapa parah patah hati yang ia alami, ternyata salah. Ia lupa bahwa Semarang hanyalah sebuah kota pelarian. Ingatannya tetap saja jalan di tempat, bahkan mengambang menunggu waktu kapan jatuhnya. Apa pun selingan yang ia simpan susah payah di kepala bahkan dasar hatinya tidak bisa dengan mudah ia pindahkan ke dalam kotak kedap udara yang bisa ia beli di toko perabotan.

Mari cerita sedikit. Kotabaru misalnya. Tetap sama, tempat itu masih ramai. Bedanya, perpustakaan kota membatasi pengunjungnya, dulu tidak. Silol yang tidak begitu ramai ketika matahari di kepala masih setia, mungkin nanti manusia penunggu bulan yang akan meramaikan. Gramedia Sudirman yang semakin ribet aturan masuknya. Dan ternyata perasaan sekian tahun yang lalu masih duduk di tempat biasa. Tuan siapa yang ditunggunya? Ia masih paham betul.

Lalu dengan cepat telinganya ia sumpal dengan earphone hitam yang ia keluarkan dari saku jaket hitamnya. Membuka kalender di hp nya, ia meringis. Masih cukup awal, ia mengorbankan semua yang selama ini ia usahakan untuk tidak ingat lagi.

Namanya Cakra. Kisah mereka berdua cukup lama, namun Gantari tetap memanggilnya 'Kra'. Begitu pun kontak di hp nya, tetap ia namai Kra bukan kekasihku atau panggilan menjijikan lainnya jika ia pikirkan sekarang. Teman-teman bahkan orang yang melihat mereka berdua pasti berpikir bahwa kisah keduanya cukup melankolis dan warna warni. Sayangnya salah. Seumpama ada warna yang bisa dipilih untuk menggambarkan kisah mereka, mereka sepakat warna abu abu. Bosan, kuno tapi tidak begitu kejam. Akhirnya saja yang kelam.

Gantari ingat bagaimana Cakra sangat terobsesi dengan filosofi. Filsuf yang paling ia sukai Marcus Aurelius. Kalimat yang Cakra ucapkan berkali kali.

'segala sesuatu yang ada adalah benih dari apa yang akan ada'

Jika ia mengucapkan kalimat itu, sinyalnya ada yang salah dari apa yang Gantari pikirkan dan ucapkan. Perempuan memang gudangnya merasa tidak percaya diri, bukan? Lalu Cakra melanjutkan lagi

'Kebahagiaan hidupmu bergantung pada kualitas pikiranmu, Ri. Semesta itu transformasi, hidup kita ya apa yang dihasilkan dari pikiran kita. Jadi, coba saja semua yang bisa dan harusnya dicoba. Jangan takut, Ri.'

Tapi Cakra melupakan beberapa hal. Akan sangat sulit jika hanya fokus pada pikiran kita sendiri, semesta pun terkadang tidak mengalir sesuai apa yang kita pikirkan, faktor terbesar dari tidak seimbangnya pola pikir dan tindakan. Ketika mengendalikan tindakan serapih mungkin pun semesta masih sering menolaknya. Begitu juga dengan peran orang lain yang menjadi aspeknya, lalu eksekusi dari pola pikir yang dibuat pasti akan berbeda dari manusia satu dengan manusia lain. Manusia A bisa menjadi penghambat manusia B, bisa juga sebaliknya. Jika begitu, bagaimana?

Buktinya ketika Gantari sudah berusaha mengelola pikirannya, seseorang berkhianat. Yang benar saja. Di jaman yang edan ini kepercayaan kepada alam sama besarnya percaya kepada manusia lain. Jika separuh berkhianat maka separuh lainnya goyah. Ketika seperti itu, masihkah mampu menjaga kualitas pikiran secara netral lagi? Gantari pikir, sulit. Jika diluruskan lagi, hal semacam itu menjadi pola yang tidak akan pernah selesai. 





Komentar

  1. ini bagus nih, judulnya cukup menipu saya. gaya penyampaiannya juga menari. apalagi bentuk dialog kedua tokohnya asik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Sang Tuan

Masih senin. Dan mendadak saya merasa hari sudah buruk saja

KATARSIS